Sejarah Hidup Imam Al Ghazali

Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga
kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki
pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya
sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin
belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum
muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup
beliau. Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau Beliau bernama Muhammad bin Muhammad
bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi,
Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para
ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian
mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi,
tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al
Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu
Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan
Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al
Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek
kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali). Sebagian lagi mengatakan
penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu
menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul
Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang
benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata,
“Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan
mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah
penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat
Al Khafaji. Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat
Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan
keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat
Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun
450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar
A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu Ayah beliau adalah seorang pengrajin
kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi.
Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari
kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar
khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami
pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang
saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.” Setelah meninggal, maka
temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan
yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat
orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh
kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya
seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian
berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga
memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.” Lalu keduanya
melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan
ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau
berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu
enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/193-194). Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang
shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian
kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka,
serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli
fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila
hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah
ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat. Kiranya Allah
mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang
faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah
nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194). Imam Al Ghazali memulai
belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad
Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu
dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang
ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195). Beliau
mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan
penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab
Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat.
Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang
menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al
Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat
Asy Syafi’iyah 6/191). Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam
Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul
para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan
mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya
di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H
beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia
tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai
kedudukan yang sangat tinggi. Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya Pengaruh filsafat
dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan
terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat.
Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar.
Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian
dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar
meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat
dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah
Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54). Hal ini
jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan
tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam,
cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih,
tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan
sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah
dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya
dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya,
walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari
ajaran Islam yang hakiki. Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis
kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan
mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu
benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan
beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab
Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang
mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis,
niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk
tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama
muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi
mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar
dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164). Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta
dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya
senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan
kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun
488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai
penggantinya. Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa
hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus
beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok
tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang
dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al
Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan
pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Ibnu Asakir
berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al
Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah
Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam
Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H.
Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud,
berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke
Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah.
Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala
6/34). Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil
hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke
Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa
tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk
beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk
orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an,
berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat
dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia. Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan
berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya,
beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah
shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang,
niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat
meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats
Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin,
saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan
saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua
matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.”
Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal
sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam
Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal
14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat
Asy Syafi’iyah 6/201).Karya-Karyanya* *Nama karya beliau ini diambil secara
ringkas dari kitab Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah, karya Dr. Abdurrahman
bin Shaleh Ali Mahmud 2/623-625, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/203-204 Beliau
seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di
antara karyanya yang terkenal ialah: Pertama, dalam masalah ushuluddin dan
aqidah: Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul
Qur’an.Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid
pertama.Al Iqtishad Fil I’tiqad.Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau
terhadap pendapat dan pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab
Asy’ariyah.Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah. Kedua, dalam ilmu
ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat
banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya: (1) Al
Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul
fiqih. Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan
ilmu kalamnya. Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam
yang mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam
dalam pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali
memasukkan pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah
menguasainya. Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur
adukkannya.” Tetapi kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui sikap
keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu
menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……” (Dua perkataan beliau
ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa
hal. 17 dan 18). Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya,
“Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah khusus
untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang tidak
memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.” (Mauqif Ibnu Taimiyah
Minal Asya’irah dari Al Mustashfa hal. 19). Kemudian hal ini dibantah oleh Ibnu
Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang yang akalnya sehat,
maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama
sekali tidak mengenal ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala
19/329). Demikianlah, karena para sahabat juga tidak mengenal ilmu manthiq.
Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari para ahli manthiq.
(2) Mahakun Nadzar. (3) Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq
dan telah dicetak. (4) Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq
Abdulkarim Ali Utsman. (5) Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq
Abul Ala Afifi. (6) Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah
dicetak. (7) Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman
Dunya. (8) Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama, kitab ini
diperselisihkan keabsahan dan keontetikannya sebagai karya Al Ghazali. Yang
menolak penisbatan ini, diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah dengan
pernyataannya, “Adapun kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, bukanlah karya
beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan khat Al Qadhi Kamaluddin Muhammad
bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan, bahwa hal itu dipalsukan atas
nama Al Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan kitab Tahafut.” (Adz
Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Banyak pula ulama yang menetapkan
keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun mengenai
kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan
ini. Akan tetapi para pakar yang mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui
bahwa semua ini merupakan perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala
19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah. (9)
Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah. (10) Ma’arijul Qudsi fi
Madariji Ma’rifati An Nafsi. (11) Qanun At Ta’wil. (12) Fadhaih Al Bathiniyah
dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap
sekte batiniyah. Keduanya telah terbit. (13) Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab
ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tashim Billah
Al Baghdadi. (14) Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan
tahqiq Muhammad Bahit. (15) Ar Risalah Alladuniyah. (16) Ihya’ Ulumuddin. Kitab
yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di
Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di
antaranya: Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi kitab
Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak
tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian
beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail
Ikhwanush Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu
yang dapat diusahakan.” (Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/334).
Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun
penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya
berbicara. Saya mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama.
Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang
umurnya, bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama
dan masuk ke dalam kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf,
menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan
ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran
filsafat dan Al Hallaj (pemikiran wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan
ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir keluar dari agama ini. Ketika
menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang ilmu ahwal dan rumus-rumus
sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki keahlian tentangnya.
Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya dengan hadits-hadits
palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan pernyataannya,
“Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan
terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara
jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam
Nubala 19/339-340). Imam Subuki dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah (Lihat 6/287-288)
telah mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan
menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al
Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi
Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya
Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya dan
menjelaskan derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits tersebut
yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari perkataan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis,
khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat
dalam kitab Ihya Ulumuddin. (17) Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang
banyak menjelaskan sisi biografinya. (18) Al Wasith. (19) Al Basith. (20) Al
Wajiz. (21) Al Khulashah. Keempat kitab ini adalah kitab rujukan fiqih
Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki menyebutkan 57 karya beliau dalam
Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/224-227. Aqidah dan Madzhab Beliau Dalam masalah
fikih, beliau seorang yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith,
Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam
mazhab Syafi’i. Mendapat perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz
Dzahabi menjelaskan mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam,
Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.” Sedangkan dalam sisi akidah, beliau
sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang bermazhab Asy’ariyah. Banyak
membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah, para filosof serta kelompok yang
menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah satu pilar dalam mazhab tersebut.
Oleh karena itu beliau menamakan kitab aqidahnya yang terkenal dengan judul Al
Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah dan cara pengambilan
dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh ulama Asy’ariyah
sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang baru dalam mazhab
Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan cara yang cukup
mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga dibarengi dengan
kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat penting menyatunya
Sufiyah ke dalam Asy’ariyah. Akan tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau?
Memang agak sulit menentukan tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah
sesuatu, kemudian beliau jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat
dalam kitab Tahafut, tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.
Ketika berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen.
Ketika berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau
berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd
mencelanya dengan mengatakan, “Beliau tidak berpegang teguh dengan satu mazhab
saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah,
sufi bersama sufiyah dan filosof bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab
Bughyatul Murtad hal. 110). Adapun orang yang menelaah kitab dan karya beliau
seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds,
Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala
Ghairi Ahlihi, akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf
orang sebelumnya. Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan
tasawuf Al Ghazali dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al
Ghazali ada dua perkara: Pertama, pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki
tiga aqidah. Yang pertama, ditampakkan di hadapan orang awam dan yang
difanatikinya. Kedua, beredar dalam ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang
dii’tiqadi seseorang dalam dirinya. Tidak ada yang mengetahui kecuali teman
yang setara pengetahuannya. Bila demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi
khusus dan rahasia dalam aqidahnya. Kedua, mengumpulkan pendapat dan uraian
singkat beliau yang selalu mengisyaratkan kerahasian akidahnya. Kemudian
membandingkannya dengan pendapat para filosof saat beliau belum cenderung
kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu Sina dan yang lainnya.
(Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628). Beliau (Syeikh Dr. Abdurrahman
bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian dan pendapat para peneliti
pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali dilandasi filsafat Isyraqi
(Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang menyatukan pemikiran dan
ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi. Termasuk bagian dari filsafat
Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal
Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al Juhani
2/928-929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh
karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq
kitab Bughyatul Murtad dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan Ibnu
Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat dan
terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun beliau
membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri. Ketika
tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang yang
berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan bentuk
usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash dengan
tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash, sesuai
dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat neo-platonisme).”
(Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111). Tetapi perlu diketahui,
bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah
meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan
Muslim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Penulis Jawahirul Qur’an (Al
Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para filosof dan merujuk kepada
mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan perkataan mereka. Pun
beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka. Beliau memastikan,
bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan. Demikian juga
halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan diri meneliti
Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian. Wallahu a’lam.
0 comments:
Post a Comment